Kamis, 02 Januari 2014

KEBIJAKAN UTAMA POLITIK LUAR NEGERI AUSTRALIA

A. Latar Belakang

Negara Pesemakmuran Australia (Commonwealth of Australia) atau yang sering kita sebut dengan nama Australia adalah sebuah negara yang terdapat dibelahan bumi bagian selatan yang juga menjadi nama dari benua terkecil didunia. Wilayahnya mencakup seluruh benua Australia dan beberapa pulau disekitarnya. Disebelah barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea, sedangkan disebelah timur berbatasan dengan Solomon, Fiji dan Selandia Baru. Meskipun Australia terletak didekat Asia, namun negara ini sering disebut sebagai bagian dari Dunia Barat karena kehidupan dari Australia yang mirip dengan Eropa Barat dan Amerika Serika Pada dasaanya politik luar negeri, atau kadang disebut pula sebagai kebijakan luar negeri, sangat ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai oleh negara tersebut sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Tujuan-tujuan yang dimaksud ialah tujuan politik, keamanan dan ekonomi. Kepentingan nasional itu ditentukan oleh para penentu kebijakan luar negeri sebagai hasil dari proses politik. Kebijakan luar negeri suatu negara, termasuk Australia, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal negara tersebut. Secara umum, faktor-faktor internal tersebut antara lain ialah faktor historis, geografis, demografis, sistem politik, struktur politik, cara pandang aktor-aktor (pemberi pengaruh, pembuat, dan penentu kebijakan) terhadap sistem internasional, serta kepentingan dan peran yang diinginkan oleh negara tersebut di dalam sistem internasional. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara antara lain ialah lingkungan regional dan internasional, termasuk dalam hal ini perkembangan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan internasional, serta kebijakan negara atau sekelompok negara lain terhadap negara tersebut.

               B. Pembahasan

Awal Kebijakan Luar Negeri Australia
            Berkaitan dengan Kebijakan luar negeri, setiap negara tentu memiliki Kebijakan luar negeri yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing negara yang pastinya mengarah kepada kepentingan nasional. Tujuan-tujuan yang dimaksud berkaitan dengan bidang politik, keamanan, ekonomi. Pada tahun 2000 dapat dikatakan sebagai awal dari perubahan, fokus perhatian persoalan yang menyangkut tentang pertahanan dan keamanan yang lebih kearah pertahanan non-tradisional. Evolusi fokus kebijakan pertahanan kearah non-tradisional, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal pembentukan negara Australia.
Kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut di antaranya :
Pertama, Historical Culture atau budaya historis dan demografis. Dalam hal ini, terdapat dua negara yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan luar negeri Australia yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Sampai awal abad ke-21 ini meski terdapat upaya untuk menjadikan kebijakan luar negeri Australia lebih mandiri dari pengaruh Amerika Serikat, khususnya jika Partai Buruh berkuasa adalah suatu kenyataan bahwa dalam banyak kasus yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan keamanan, kebijakan luar negeri Australia sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Beberapa contohnya adalah kebijakan Australia terhadap Indonesia berkaitan dengan masalah Irian Barat pada 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an serta kebijakan Australia atas Timor-Timur 1975-1999.
           
Kedua, Faktor Geografis. Sebagai negara benua yang terletak diselatan khatulistiwa yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat keturunan Inggris (Anglo Celtic), masyarakat Australia merasa terisolir oleh lingkungan luarnya. Jika kita menganalisis dari segi historis, kultur, bahasa, tradisi dan sistem politik demokrasi masyarakat Australia lebih dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat, namun secara geografis Australia berdekatan dengan Asia. Pada pertengahan 1980-an, kedekatan geografis dengan Asia dipandang bukan sebagai hikmah melainkan sebagai bencana. Ketakutan Australia pada Asia ini sudah muncul pada tahun 1850-an ketika Australia menemukan tambang-tambang emas dan perak dinegerinya yang akan mengundang pendatang dari Asia khususnya Cina.

            Ketiga, Perubahan konstelasi politik, ekonomi, dan keamanan regional dan internasional tidaklah bersifat statis melainkan sangat dinamis. Dinamika yang terjadi baik dilingkungan regional dan internasional sangat mempengaruhi implementasi politik luar negeri Australia salah satu contoh Perubahan kebijakan Pertahanan Amerika Serikat terhadap kawasan Asia Tenggara pada masa Presiden Richard Nixon (Doktrin Nixon 1969) juga mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan Australia dari ketergantungannya yang begitu besar pada aliansinya dengan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya menjadi suatu upaya untuk memperkuat defence self-reliance. Ini bukan berarti Australia tidak ingin lagi beraliansi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat atau tak mau lagi membangun jaringan pertahanan dengan negara-negara tetangganya, melainkan adanya upaya agar semakin mandiri dibidang pertahanan.
Keempat, tujuan yang ingin diraih dari kebijakan luar negeri adalah kepentingan nasional. Tujuan politik dari kebijakan luar negeri Australia terdiri dari empat hal yaitu :
1.      Australia yang lebih aman, baik dari segi fisik, ekonomi, budaya dan politik, termasuk ideologi dan nasional etosnya,
2.      Suatu dunia yang lebih aman,
3.      Suatu dunia yang lebih kaya,
4.      Suatu dunia yang lebih baik.

            Kebijakan luar negeri Australia security objectives yaitu bagaimana menjaga keamanan Australia baik secara individual (Self - Reliance) dalam kerangka aliansi militer dibawah payung Amerika Serikat seperti SEATO (South East Asia Treaty Organization) dan ANZUS ( Australia, New Zealand, and The United States) serta dibawah payung Inggris FPDA (Five Powers Defence Arrangement) atau dalam kerangka kerjasama Regional yang membangun jaringan kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN dan Pasifik Selatan (katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../1673/1674.pd diakses pada hari Jum’at 16-04-2010). John Howard pada masa pemerintahannya mengumumkan suatu kebijakan baru tentang informasi wilayah maritim Australia yang dikenal dengan nama Australia’s Maritime Identification Zone (AMIZ) pada tahun 2004 (melalui pernyataannya “Strengthening Australia’s Offshore Maritime Security”).
Awal pembentukan negara Federasi Australia mengalam perjalanan panjang. Perubahan bentuk pemerintahan dari koloni Inggris menjadi bentuk Federasi tidak mengurangi pengaruh western dalam pemerintahan Australia. Meskipun komposisi warganegaranya sudah menurun keinggrisannya dengan komposisi 25% non Inggris, tetapi pengaruh Inggris masih sangat kuat menguasai kelembagaan pemerintahan di Australia. Bereson & Rosenblat mengidentifikasi pengaruh negara-negara western yang ada dalam kelembangaan pemerintahan di Australia setelah terbentuknya Federasi Australia sebagai berikut.
·         Tradisi demokrasi parlemen menggambarkan pengaruh Inggris
·         Adanya referendum menggambarkan pengaruh Swiss
·         Pembagian kekuasaan pemerintah federal dengan state menggambarkan pengaruh Canada
            Penggunaan nama Senate dan House of Representatives memperlihatkan pengaruh Amerika Serikat. Suatu benua yang dihuni oleh mayoritas masyarakat berkulit putih khususnya Inggris, dengan orientasi pemerintahan yang berkiblat ke Inggris, tetapi terletak di Pasifik Selatan, menyebabkan terlihatnya gambaran kelompok kulit putih yang terisolasi di antara kelompok masyarakat kulit berwarna. Kondisi ini menimbulkan dampak, harus bagaimanakah Australia menempatkan dirinya di antara negara-negara Asia dan Pasifik? Harus bagaimana Australia menata arah politik luar negerinya agar dapat hidup berdampingan dan bertetangga baik ? Ini bukan persoalan mudah bagi Australia, sebab latar belakang budaya yang dimunculkan dalam bentuk pemerintahan berwarna western seringkali akan bertabrakan dengan warna pemerintahan kulit berwarna terutama negara-negara di Asia yang baru bermunculan sebagai akibat perkembangan nasionalisme pasca Perang Dunia II.

            Latar belakang Australia sebagai misplaced continent atau frightened country dilihat dari gaya hidupnya dan kelembagaan politik yang berkiblat ke Eropa khususnya Inggris, tetapi secara geografis terletak di Pasifik Selatan yang mayoritas penduduknya berkulit berwarna, adalah penggambaran terhadap benua yang di selatan ini pada awal dan perkembangannya sampai pada masa Perang Dunia II. Pencarian jati diri untuk memposisikan politik luar negerinya mulai tampak setelah masa Perang Dunia II di mana pada saat itu Australia menyadari bahwa menggantungkan eksistensinya pada negeri induknya Inggris tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi di Pasifik Selatan.
Perang Dunia II memberikan kesadaran pada Australia bahwa Amerika Serikat lebih dapat diandalkan untuk menjadi mitranya dalam menghadapi situasi dan kondisi di wilayah Pasifik. Analisis berikut memberikan gambaran tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan mesin pertempuran yang canggih. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesalahtempatan Australia mengharuskan negara tersebut menyadari lingkungan sekitarnya yang berbeda baik secara fisik maupun budaya.

            Australia harus menata kehidupan politik luar negerinya dengan mempertimbangkan good neighbourhood dengan negara-negara di sekitarnya. Sebagai contoh, untuk membendung penyebaran komunis di Asia Tenggara, setelah mundurnya Perancis dari Vietnam. Maka pada tahun 1954 dibentuk SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang anggotanya adalah Australia, New Zealand, Perancis, Inggris, Pakistan, Philipina, Thailand, dan Amerika Serikat. Meskipun organisasi pertahanan bersama ini tidak berumur panjang (tahun 1977 dibubarkan sejalan dengan mundurnya Amerika Serikat dari Vietnam), tetapi terlihat adanya niat baik Australia untuk beradaptasi dengan negara-negara di sekitarnya. Australia menjadi salah satu negara penggagas South Pacific Commission yang merupakan langkah awal terbentuknya South Pacific Forum (SPF), yakni forum tempat para pemimpin negara-negara di Pasifik bertemu dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi di kawasan Pasifik. Hasil dari forum tersebut dapat dilihat dari hasil forum Brisbane tahun 1994 yang mencerminkan kesadaran akan pentingnya pelestarian laut, hutan, dan sumber daya alam lain. forum Madang menghasilkan kesepakatan reformasi ekonomi yang bertujuan untuk menstimulai perdagangan dan investasi, mengembangkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, serta menciptakan kondisi yang dapat mengembangkan sektor privat.

            Dalam hal kerjasama militer, forum ini menghasilkan perjanjian South Pacific Free Zone Treaty – The Treaty of Ritonga tahun 2003. Dengan ditandatangani perjanjian ini maka kawasan Pasifik akan terbebas dari tes-tes senjata nuklir.
Asean Regional Forum (ARF) yang dibentuk tahun 1994 juga merupakan jawaban terhadap kepentingan Australia menata kehidupan politik yang mengarah kepada bertetangga baik tersebut. Asean Regional Forum memiliki 25 negara anggota yang menaruh perhatian bagi keamanan Asia Pasifik. Dari 25 anggota ARF, terdapat 10 anggota ASEAN (Brunei, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam); 10 negara mitra Negara ASEAN (Australia, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan Amerika Serikat), dan 5 negara pengamat ASEAN (Papua Nugini, Korea Utara, Mongolia, Pakistan dan Timor Leste). ARF menjadi suatu wadah tempat Negara anggota dapat berdiskusi mengenai isu keamanan regional yang terjadi dan mengembangkan aturan kejasama untuk meningkatkan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut.

Australia Gagas Uni Asia-Pasifik
Perdana Menteri Australia Kevin Michael Rudd, J menegaskan usulan pembentukan suatu kelompok masyarakat Asia-Pasifik tidaklah meniru model Uni Eropa. "Kelompok ini tidak akan memiliki satu mata uang yang sama sebagaimana Uni Eropa," katanya.  Pemimpin Federal Partai Buruh Australia itu lebih lanjut mengatakan pembentukan Uni Asia-Pasifik itu bertujuan untuk mewadahi kerjasama di bidang ekonomi dan politik negara-negara di kawasan itu. Mantan diplomat yang fasih berhasa Mandarin itu berharap Uni Asia-Pasifik bakal terbentuk pada 2020. Tak pelak tekad Rudd membentuk kelompok yang beranggotakan Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, Australia, dan negara-negara di Asia Pasifik itu menjadi topik utama media massa di Negeri Kanguru itu. Kritikan pun mengalir. Di antaranya dari dua mantan perdana menteri Australia, Paul Keating dan Bob Hawke.

            Kedua pentolah Partai Buruh itu mengatakan gagasan itu tidak realistik dan tidak layak diterapkan di Asia. "Asia belum membutuhkannya," kata Bob Hawke, salah seorang pelopor berdirinya forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) itu. Adapun Keating menganggap kelompok itu justru akan mengancam kedaulatan Cina. Tapi Rudd hakulyakin Uni Asia-Pasifik bisa terwujud pada 2010. Dia lalu merujuk ke masa ketika Bob Hawke memulai proses pembentukan APEC. "Dulu semua orang juga berpendapat itu mustahil," ujarnya. Rudd pun lantas menunjuk Richard Woolcott guna mempromosikan gagasan itu.
Woolcot adalah diplomat senior. Dia pernah bertugas sebagai Duta Besar Australia di Perserikatan Bangsa Bangsa. Cuma kelompok oposisi menuduh Rudd tergesa-gesa dalam membuat kebijakan. Usulan itu juga mendapat perhatian dari Jepang dan Indonesia, dua negara yang akan dikunjungi Rudd pekan depan. Jepang, sebagaimana diungkap AFP, mengaku cemas akan adanya kemungkinan perubahan aliansi. Tokyo was-was kebijakan poitik luar negeri Australia bakal bergeser dari Amerika Serikat dan Jepang. Maklumlah kedua negara itu merupakan mitra utama Australia di percaturan politik dunia dan kawasan.

Australia dan Asia Pacific Community

Naiknya Kevin Rudd sebagai pemimpin baru Australia dari Partai Buruh menggantikan John Howard dari Partai Konservatif diperkirakan akan membawa pendekatan strategis baru Australia di tingkat global maupun regional. Dari sisi pilihan antara pendekatan geografis dan sosiocultural, biasaya pemerintah buruh Australia lebih memilih geografis, yaitu kedekatannya dengan Asia ketimbang dengan Induk Semangnya, Inggris, atau Sepupunya, AS. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan bahwa masa depan Australia lebih terletak di Asia ketimbang kedekatan budaya dan bahasanya dengan Inggris dan AS.
Saat masih menjadi Shadow Foreign Minister, Kevin Rudd memformulasikan 3 pilar politik luar negeri Australia yang mencakup The US Alliance, Engagement with the UN, dan Engagement with Asia. Setelah terpilih, Rudd tampaknya tetap memegang formulasi PLN Australia dalam 3 pilar tersebut. Kevin Rudd berasal dari Faksi Kanan di dalam Australian Labour Party dan bukan dari faksi Kiri, oleh karena itu pandangan Politik Luar Negerinya tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan pemerintahan konservatif sebelumnya, yaitu tetap akan mempertahankan aliansi militernya dengan AS ( The US Alliance).1 Australia terbiasa berurusan dengan sekutu-sekutunya yang besar dan powerful, dan siap mengakomodasi mereka sejauh biayanya tidak terlalu besar, tindakannya tidak terlalu dekat dengan Australia dan keuntungannya pragmatic (so long as the cost is not too high, the action not too close to home and the benefits tangible – a pragmatic, if unattractive national trait). Sementara itu, keterlibatan Australia terhadap PBB juga ditunjukkan oleh Kevin Rudd dengan menandatangani protocol Kyoto dan penarikan mundur pasukan Australia di daerah konflik, seperti di Irak dan Afghanistan
Rasionalitas kebijakan luar negeri Australia diarahkan oleh komitmen Australia terhadap multilateralisme dan regionalisme dalam hubungan bilateral yang erat dengan sekutu-sekutu utamanya. Setiap pemimpin Australia sadar betul akan kepentingan nasional Australia di konteks regional maupun global dan karenanya kebijakan luar negeri Australia diarahkan untuk mencapai prioritas-prioritas utama yang ditetapkan untuk mewujudkan kepentingan nasional. Perhatian Australia saat ini terfokus pada freetrade, terorisme, kerjasama ekonomi dengan Asia dan stabilitas di Asia Pasifik. Hubungan Australia dan komunitas internasional dipengaruhi oleh posisinya sebagai `a leading trading nation’ dan sebagai donor bantuan humanitarian yang cukup penting. Tidak mengherankan jika pemerintah Australia sekarang ini akan tetap mempertahankan kehadiran tentara dan polisinya di Solomon Island yang telah menjadi The Failed State, Papua Nugini (PNG) dan tentu saja di Timor Leste. Indonesia juga tetap akan menjadi negara penerima bantuan luar negeri yang cukup penting bagi Australia, namun fokus Australia masih akan tetap ke kawasan Timur Indonesia. Sumber daya Alam (minyak dan gas) adalah kepentingan utama Australia, untuk menemukan sumber energi baru. Menurut sumber penulis di Kedubes Australia, orientasi politik Australia dengan mengirim pasukan sebanyak-banyaknya ke Timor Leste sejak menjadi bagian dari pasukan PBB yang tergabung dalam INTERFET, tahun 1999 sampai pada pasca kerusuhan tahun 2006 jelas hanya berupaya untuk menguasai minyak dan gas bumi di laut Timor untuk kepentingan perusahaan besar Australia, seperti Conoco Philips dan Woodside Australian Energy.3 Austalia Selama ini telah menekan Timor Leste untuk tidak menggunakan penentuan batas maritim sesuai dengan UNCLOS 1982. Penekanan ini tertuang di dalam dokumen International Unitisation Agreement (IUA), dimana Timor Leste dipaksa untuk menyetujui diberikannya 79,9 % dari produksi minyak di ladang Greater Sunrise kepada Australia, sementara Timor Leste hanya mendapatkan 20,1 %. Padahal kalau garis batas equidistance ditarik, maka semua hasil yang merupakan milik Timor Leste jauh lebih besar. Dalam kasus di Solomon Island, lebih parah lagi, Australia malah membentuk pemerintahan Boneka, walaupun tidak disetujui oleh PBB, namun Australia tetap tidak mau untuk meninggalkan negara di kepulauan Pasifik Selatan itu.
Saya setuju dengan pandangan bahwa Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh (Kevin Rudd) tidak akan lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dilihat dari berbagai kebijakan yang ada, Politik Luar Negeri Australia merupakan kesinambungan yang jarang sekali berubah secara drastis. Nuansa Politik Luar Negeri Australia bisa saja berubah, namun substansinya akan tetap sama. Dalam konteks hubungan Indonesia-Australia, Kevin Rudd akan tetap otonom dan proaktif menjalankan kebijakan strategisnya di kawasan ini. Keterlibatan aktif Australia di Timor Leste, investigasi kasus Bom Bali, penembakan tersangka teroris Amrozy Cs, dan penanganan kasus Imigran dari Papua adalah contohnya. Dalam Kasus di Papua Barat, Kevin Rudd kelihatannya akan mengikuti posisi pendahulunya untuk terlibat di dalam masalah yang sangat sensitif bagi Indonesia tersebut, yang menyangkut status dari Papua Barat
Salah satu faktor objektif penting yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia adalah karakteristik uniknya yang disebut Samuel P Huntington sebagai `a torn country’: secara kultural Australia merupakan bagian dari budaya Eropa, secara geografis menjadi bagian dari ‘komunitas Asia’. Karakteristik ini membuat Australia merasa (dan dipandang oleh negara-negara tetangganya) sebagai negara asing di kawasan Asia. Sebagai suatu geo-culturally torn country, Australia harus melakukan sejumlah penyesuaian-penyesuaian strategis supaya tetap survive di lingkungan yang unik ini. Engagement dengan negara-negara tetangga terdekat di kawasan terdekat (Asia) adalah keharusan. Menjadi bagian dari an Asia Pacific nation telah menjadi prioritas orientasi PLN Australia. Namun engagement with Asia ini pun sebetulnya tidak mudah karena perbedaan komonalitas dalam hal nilai-nilai dan tradisi kultural yang menciptakan persepsi di Asia bahwa Australia tetap merupakan stranger. Bagi Australia tampaknya lebih mudah menjalin inter-relasi dengan negara-negara Eropa dan AS daripada dengan negara-negara Asia. Karakteristiknya sebagai geo-culturally torn country membuat Australia tidak merasa aman dan nyaman di kawasan ini. Ketidakamanan dan ketidaknyamanan ini yang mendorong Australia untuk mempertahankan pergaulan dekatnya dengan negara-negara Eropa dan beraliansi dengan AS. Di sisi lain, kedekatannya dengan negara-negara Eropa dan terutama AS telah menghadirkan image bahwa Australia adalah deputy sheriff AS di Asia, image yang bahkan lebih menonjol daripada ‘peran yang sama’ yang mungkin dimainkan oleh Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Kevin Rudd tampaknya sadar dengan citra Australia ini, apalagi karena pendahulunya, Howard, memang secara intensional telah membawa Australia sebagai `loyal client’ dari AS, global patron Australia, seperti ditunjukkan oleh dukungan tanpa reservasi terhadap kebijakan AS dalam Global War on Terrorism. Citra ini menjadi batu sandungan bagi implementasi pilar PLN lainnya : engagement with asia untuk tujuan membangun keamanan dan kesejahteraan regional. Sehingga apa yang akan dilakukan oleh Rudd, adalah tetap mempertahankan aliansi dengan AS, tetapi mungkin dengan wajah yang lebih bersahabat dengan negara-negara terdekatnya.
Struktur power di Asia Pasifik pada era pasca perang dingin dipengaruhi oleh struktur power global. Samuel P Huntington mengklaim kongigurasi struktur power global sebagai the lonely superpower vis-a-vis multiple powers : Amerika Serikat sebagai unit dalam struktur power satu-satunya sepeninggal Uni Soviet pada awal tahun 1990an berhadapan dengan new emerging multiple powers seperti Uni Eropa, Rusia, China dan Jepang. Dalam struktur hubungan major powers di Asia, barangkali posisi China yang paling dipandang dengan kecurigaan dan sikap hostile bagi AS sebagai the superpower, dan bagi multiple powers yang ada. Munculnya China sebagai kekuatan global baru menjadi perhatian serius AS dan sekutu-sekutunya di Asia Pasifik dan Eropa. Beberapa Analisa melihat pemimpin-pemimpin China berusaha sedemikian rupa menggunakan pengaruh ekonomi dan politik mereka untuk memarginalisasi dan menghalangi peran AS di Asia atau dalam jangka menengah dan panjang untuk menggantikan posisi AS di kawasan ini. Marginalisasi peran AS ini memiliki tujuan jangka lebih jauh supaya China dapat memainkan peran lebih lanjut di level global. Pandangan seperti ini tampaknya sangat berpengaruh pada para pembuat keputusan di AS.
Salah satu isu yang menjadi kontroversial bagi Pentagon adalah pengembangan kekuatan kapal selam China yang dicurigai ditujukan untuk memblok akses militer AS ke Taiwan. Sikap curiga terhadap munculnya China ini telah mendorong AS untuk mengundang partner-partner aliansinya, terutama Jepang dan Australia, untuk melakukan strategi Containment (Pembendungan). Stabilitas ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Pasifik akan ditentukan oleh kemampuan negara-negara major powers untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan vital mereka. Kenyataannya, ini merupakan agenda yang paling sulit direalisasikan. Kehadiran AS di kawasan baik secara langsung maupun melalui aliansi-aliansi setianya, Jepang dan Australia, dipandang sebagai strategi untuk ‘mengkerdilkan’ peran China. Sementara, peran China yang semakin meningkat di kawasan ini juga dicurigai sebagai upaya meminggirkan peran AS di kawasan ini. Dalam jangka waktu yang sangat dekat, China akan mengintensiflcan perannya di kawasan ini dengan pendekatan geo ekonomis melalui kerjasama bilateral dengan negara-negara kawasan maupun melalui lembaga-lembaga regional (termasuk ASEAN) dan transregional (seperti ASEM); pada saat yang sama, China akan terus melakukan akselerasi untuk memenuhi prioritas ­prioritas PLN yang selama ini belum berhasil. Pendekatan-pendekatan ini akan disinergikan untuk mencapai kepentingan vital China.
Langkah China akan memperlebar gap kepentingan antara major powers dan multiple power. Kegagalan dalarn mempertemukan kepentingan-kepentingan vital di antara major powers dan multiple powers, dan peningkatan persaingan di antara major powers tampaknya akan mendominasi struktur politik regional di Asia Pasifik. Lingkungan regional akan menjadi tidak menentu. Kekuatan baru muncul sebagai dominant power, kekuatan-kekuatan lain (Jepang, Rusia, India) memperkuat aliansi dengan AS untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Ketidakpastian menyikapi intensi dan ambisi China akan tetap menjadi isu sentral bagi para pembuat keputusan di AS dan partner-partner aliansinya di Asia Pasifik. Australia melihat AS sebagai “great friend and ally“, sementara pada saat yang sama Australia sebenarnya melihat China sebagai “Great friend and partner” “to shift Australia’s approach from fear of China to one of friendly relations ; to deal with China on its own merits and not just as part of the East-West confrontation ; to see China as an apportunity rather than as a threat ; to recognize China as a potential great power; and to encourage China to participate as an equal and co-operative member of the international society
Kevin Rudd memiliki alasan mengapa hubungan yang bersifat amity dengan China perlu dikembangkan. Australia dan China merupakan partner dagang yang cukup besar dengan posisi China sebagai pemain utama dalam perekonomian Australia. China merupakan partner impor terbesar dan partner ekspor kedua terbesar bagi Australia. Bagi China, Australia dipandang sebagai negara penting dalam hal pemasok mineral yang dalam beberapa tahun belakangan menaikkan perekonomian Australia. Di Australia ini dikenal dengan Minerals Boom atau the Chinese Mineral Boom. Bagi Australia, kehadiran AS tetap sangat krusial bagi keseimbangan regional yang stabil di antara negara-negara major powers. Ini berarti kebijakan US Strategic engagement di Asia tetap merupakan isu sentral dari pendekatan Australia di kawasan ini.

Asia Pacific Community : Engagement With Asia
Tujuh bulan setelah terpilih sebagai PM Australia, Kevin Ruud memunculkan ide tentang Asia-Pacific Community. Komunitas Asia Pasifik ini yang diharapkan dapat terbentuk pada tahun 2020 mengemban visi untuk menjadi suatu institusi regional yang: (1) mencakup seluruh kawasan Asia-Pasifik, yang secara spesifik memasukkan Amerika Serikat, Jepang, China, India dan Indonesia dan juga negara-negara lainnya di kawasan; (2) mampu terlibat di dalam spektrum kegiatan yang meliputi dialog, kerja sama dan tindakan nyata dalam menangani masalah-masalah ekonomi dan politik serta menghadapi tantangan-tantangan di masa depan yang terkait dengan keamanan. Di dalam pidatonya kepada Asia Society Australia pada tanggal 5 Juni 2008, ia menguraikan tentang berbagai tantangan regional dan global yang dihadapi oleh Australia dan juga negara­negara lain di kawasan, seperti perubahan iklim, krisis energi dan pangan dan munculnya kekuatan baru yaitu China dan India. Ruud melihat suatu kebutuhan akan adanya institusi-institusi regional yang kuat dan efektif dalam rangka menghilangkan beberapa keretakan di dalam hubungan antar negara yang terjadi saat ini sekaligus untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Ruud menyadari bahwa kawasan Asia-Pasifik saat ini telah memiliki berbagai institusi dan pengaturan yang secara relatif telah berkontribusi dalam upaya untuk mencapai stabilitas dan kemakmuran regional. Namun, ia dengan tegas menyatakan bahwa tidak satu pun mekanisme regional yang ada tersebut betul-betul berhasil untuk melibatkan semua negara dalam dialog, kerja sama dan secara nyata mengambil tindakan dalam rangka mengatasi berbagai masalah politik, ekonomi dan keamanan. Salah satu contoh adalah ketidakmampuan ASEAN untuk mengatasi krisis di Myanmar hingga saat ini dan juga menjadi mediator aktif untuk menyelesaikan konflik antara Thailand dan Kamboja. APEC, ARF, KTT Asia Timur, ASEAN Plus Three dan ASEAN tetap diharapkan untuk memainkan perannya masing-masing yang akan menjadi batu-batu penyusun (building blocks) dari Komunitas Asia-Pasifik ini. Keseriusan Ruud dengan proposal ini ditunjukkan dengan penunjukan Duta Besar Dick Wolcott sebagai duta khusus tingkat tinggi untuk membicarakan ide ini dengan negara-negara lain di kawasan. la juga menyatakan bahwa hasil pembicaraan awal tersebut akan mengarah pada suatu konferensi tingkat tinggi antar kepala negara dan juga melibatkan inisiatif-inisiatif dari pihak-pihak non-pemerintah untuk mematangkan proposal ini.
Munculnya proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini membawa beberapa implikasi mendasar untuk dikaji lebih dalam. Pertarna, ide ini selaras dengan pilar-pilar politik luar negeri Australia yang telah ditetapkan di bawah administrasi Partai Buruh. Komunitas Asia­Pasifik diharapkan dapat menjadi salah satu strategi penting untuk menciptakan keterlibatan secara komprehensif (comprehensive engagement) dengan negara-negara tetangga di Asia. Di samping itu, keterlibatan ini penting untuk meminimalkan kemungkinan munculnya persaingan dan konflik yang mengakibatkan ketidakstabilan regional dan tentunya juga keamanan nasional Australia.
Kedua, proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini juga mencer­minkan pengakuan Australia sebagai “active middle power” di dalam konstelasi struktur global saat ini. Seperti dikatakan oleh Duta Be­sar Richard Woolcott, ide tersebut akan terlihat tidak terlalu provokatif jika muncul dari negara seperti Australia ketimbang dari Amerika Se­rikat atau China. Ide ini juga menunjukkan suatu pesan yang sangat jelas bahwa Australia di bawah kepemimpinan yang baru betul-betul berupaya untuk berperan penting dalam pembentukan arsitektur re­gional untuk menciptakan stabilitas regional, terlebih lagi untuk men­jamin keamanan nasional Australia. Selain itu, dalam rangka untuk menjadi kekuatan yang aktif dan signifikan di kawasan, tentunya penting untuk mengulang kembali kesuksesan negara tersebut yang ditunjukkan dengan berdirinya APEC pada tahun 1988 berdasarkan usul dari PM Bob Hawke.
Ketiga, terkait dengan implikasi kedua, pandangan realis tertentu juga melihat bahwa ide ini merupakan manifestasi dari adanya suatu kekhawatiran tentang potensi persaingan yang intensif di antara kekuatan-kekuatan di kawasan, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China dan India. Walaupun merupakan suatu hal yang mustahil untuk menghilangkan semua potensi konflik, institusi baru ini diharapkan dapat mengakomodasi, bahkan mengarahkan arah pertumbuhan China atau India, sebagai calon-calon kekuatan baru, yang masih dianggap belum jelas hingga saat ini.
Misalnya, di dalam Buku Putih Pertahanan Australia yang tebalnya mencapai 140 halaman dan berjudul Membela Australia di Abad Asia Pasifik: Kekuatan Militer 2030, secara jelas menyatakan bahwa pemerintah Australia dalam kurun waktu 20 tahun ke depan akan mengupayakan secara maksimal untuk meningkatkan kekuatan angkatan laut maupun udara Australia, termasuk di antaranya melipatgandakan armada kapal selamnya dan membeli 100 unit pesawat tempur, “agar Australia dapat membentengi diri secara mandiri dari agresi, sekaligus juga membantu menjaga stabilitas keamanan di wilayah Asia Pasifik”. Selain membeli 24 unit Jet tempur canggih F/A-18F ‘Super Hornet, Australia juga akn membeli pesawat tempur Siluman F-22 Raptor dari AS. Australia sekarang sedang mempertimbangkan partisipasinya dalam program sistem pertahanan rudal AS. Bahkan Menteri Pertahanan Joel Fitzgibbon juga sudah memerintahkan pembuatan rencana pengembangan generasi baru Kapal Selam AL Australia untuk menggantikan Armada ‘Collins’ pada tahun 2025. Proyek pengembangan armada kapal selam baru tersebut diperkirakan memakan biaya 25 milyar dollar dan perlu waktu 17 tahun tersebut, disebut surat kabar “the Australian “ sebagai proyek pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu.
Buku Putih tersebut juga menyebutkan, perkembangan militer Cina sepertinya telah jauh melampaui kebutuhannya untuk menginvasi Taiwan. Kecepatan pengembangan kekuatan militer Cina , dan moderenisasi kekuatan militernya yang nyaris tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global ini, Bagi Australia, langkah moderenisasi kekuatan militer RRT, luas cakupan serta strukturnya jika tidak dijelaskan secara mendetail, maka akan menciptakan kekhawatiran laten bagi negara – negara tetangganya.
Sementara itu, sebagian besar negara di kawasan, khususnya negara-negara ASEAN cenderung berhati-hati dalam menanggapi ide tersebut. Para pejabat di Thailand menyatakan bahwa mereka ingin mempelajari proposal tersebut lebih lanjut sebelum menunjukkan dukungan atau penolakan. Di sisi lain, anggota-anggota parlemen di Indonesia mempertanyakan proposal tersebut karena melihat telah banyaknya institusi dan mekanisme regional yang telah ada saat ini sehingga dirasakan tidak perlu lagi untuk membentuk institusi yang baru. Pemerintah Indonesia sendiri, khususnya Departemen Luar Negeri, belum memberikan pernyataan resmi yang menyatakan menyambut atau menolak usulan tersebut.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan justru menyatakan menyambut baik inisiatif tersebut walaupun tetap mengatakan ingin mengetahui isinya lebih jauh. Namun demikian, pernyataan Sekjen ASEAN mendapat tanggapan dari negara anggota ASEAN. Dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-41 pada tanggal 17-24 Juli 2008, Kementerian Luar Negeri Singapura memberikan klarifikasi bahwa pernyataan Sekjen ASEAN merupakan pernyataan pribadi yang tidak mewakili seluruh negara anggota ASEAN. Pejabat tinggi Singapura juga mengingatkan bahwa ASEAN tetap memegang peranan utama dalam pembentukan komunitas regional di Asia Timur dan proposal ini nampak sebagai peralihan posisi Australia untuk mendukung peranan ASEAN tersebut.
Di samping berbagai tanggapan awal tersebut, proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini perlu dianalisis lebih lanjut. Apakah Komunitas Asia-Pasifik ini akan menjadi suatu institusi payung bagi semua institusi-institusi regional yang telah ada atau justru menjadi batu penyusun yang menambah sederetan institusi regional tersebut? Untuk menjadi institusi payung, hal ini tentu bukan merupakan suatu hal yang mudah. Contohnya model pembentukan Uni Eropa tidak dapat sepenuhnya diadaptasi karena karakteristik negara-negara anggota serta tantangan-tantangan di kawasan masing-masing yang berbeda. Kemudian, adanya kenyataan bahwa ide tersebut muncul dari Australia justru menjadi tantangan tersendiri karena masih berkembangnya pandangan bahwa Australia merupakan bagian dari Barat yang “terperangkap secara geografis” di kawasan Asia. Hingga saat ini, kemungkinan yang paling realistis adalah bahwa institusi ini akan menjadi institusi baru yang sejajar dengan institusi-institusi lain di kawasan, seperti APEC dan KTT Asia Timur. Karena itu, untuk membuat institusi ini menjadi efektif, sangat penting untuk segera merumuskan fungsi-fungsi spesifik seperti apa yang akan dijalankan berdasarkan dua elemen yang tercantum dalam visi Ruud atas Komunitas Asia-Pasifik ini.
            Implikasi penting yang mungkin akan terjadi adalah adanya ke­mungkinan bahwa Komunitas Asia-Pasifik ini digunakan sebagai jalan keluar (leeway) dari kebuntuan di dalam ASEAN. Menurunnya efektivitas dan relevansi ASEAN terutama setelah krisis ekonomi tahun 1997 telah memunculkan berbagai kritik terhadap kinerja ASEAN. Tanpa menafikan kesuksesan secara relatif selama 40 tahun dalam mencegah terjadinya konflik terbuka antar negara di kawasan, saat ini ASEAN menghadapi berbagai tantangan serius khususnya dalam rangka transformasi ke arah terbentuknya Komunitas ASE­AN. Berlanjutnya krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar, terjadinya sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dan masih diadopsinya non interference principle di dalam Piagam ASEAN dapat mengarah pada menurunnya harapan tentang arah yang dituju oleh ASEAN. Pencantuman salah satu negara anggotaASEAN sebagai calon anggota Komunitas Asia-Pasifik ini dapat menimbulkan kontroversi di dalam tubuh ASEAN karena selalu terbuka kemungkinan bagi negara tersebut untuk menggunakan institusi baru ini sebagai jalan keluar.
            Namun sekarang bukan pertanyaan ASEAN penting atau tidak secara konseptual dan teori. Pertanyaannya apakah ASEAN yang sekarang sudah cukup atau belum untuk menghadapi situasi global sekarang ini ? Banyak kalangan menilai ASEAN tidak lagi cukup untuk menjadi tumpuan utama. Sejak tahun 2000 hal ini sudah dikemukakan. Setelah 41 tahun ada kontribusi ASEAN, misalnya penyelesaian masalah Kamboja, Filipina Selatan dan Malaysia. Tapi semangat ASEAN tidak workable untuk banyak masalah lain. Masalah Mynmar, berlanjutnya aksi terrorisme Pasca ditembaknya Amrozy Cs, TKI di Malaysia, misalnya, tidak bisa diselesaikan dengan semangat ASEAN saja. ASEAN sampai sekarang dinilai masih milik elit dan birokrat, tidak mengakar kuat di tingkat grass root. Kontribusinya memang ada , tetapi di anggap masih jauh dari harapan untuk sebuah organisasi regional dalam memanage ketegangan-ketegangan yang ada. ASEAN penting jika dilihat 570 juta penduduknya sebagai pasar dan sumber daya. Tapi hal itu tidak cukup.
            Selama beberapa tahun terakhir hubungan internasional di Asia Tenggara mengalami perubahan yang cukup dinamis. Perubahan yang bisa dilihat adalah : kembalinya ASEAN sebagai ajang persaingan negara-negara besar, kesulitan ASEAN untuk menyelesaikan isu-isu keamanan internal, meningkatnya ancaman keamanan non tradisional, terutama terrorisme, keamanan energy, pangan dan maritime serta masa depan ASEAN yang dihadapkan pada persoalan menguatnya regionalisme pada forum yang lebih luas.
            Ada gejala power shift yang dramatis di Asia Timur dengan berlanjutnya supremasi AS, kebangkitan China dan India, kehadiran Japan dan kembalinya Russia. Ada Pandangan negara lain di kawasan Asia Timur terhadap kinerja ASEAN, termasuk ARF yang semakin menurun atau terjadi kejenuhan karena ketidakmampuan ASEAN dalam memberikan hasil. Apabila Negara-negar besar tidak lagi yakin dengan kegunaan arsitektur regional kawasan berbasis ASEAN, maka besar kemungkinan mereka akan mempertimbangkan sebuah arsitektur regional baru yang dapat mengakomodasikan berbagai tantangan strategis yang lahir akibat terjadinya pergeseran kekuatan. Pada saat yang sama, apabila arsitektur yang ada dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan krisis global dan regional, maka kebutuhan akan sebuah arsitektur regional baru yang mungkin diporakarsai negara besar juga semakin menonjol.
            Lewat Kevin Rudd, sekarang ada gagasan menghasilkan new arrangement di Asia Pasifik. Ada kompetisi negara-negara besar. ASEAN dipandang tidak mampu untuk memanage kepentingan negara-negara besar. Ide Perdana Menteri Kevin Rudd itu sebenarnya merefleksikan konteks tersebut di atas dan berisi concert of power. PM Rudd juga melontarkan gagasan untuk membentuk Nuclear Non-proliferation and Disarmament Commission sebagai persiapan menjelang proses peninjauan kembali Nuclear Non-proliferation Treaty (NPT) pada 2010. Diharapkan, komunitas itu menjadi arsitektur keamanan baru yang dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan terkait dengan ekonomi, politik, dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Di mata PM Rudd, belum ada mekanisme regional yang mampu mencapai tujuan-tujuan yang disebutnya itu. Meski Indonesia melalui Presiden SBY dan DEPLU RI menyambut baik, namun menurut DR Ikrar Nusa Bhakti, belum tentu Indonesia akan menerimanya karena persoalan siapa yang menjadi ‘pemimpin’, ‘penggerak’, atau ‘pengemudinya’ tetap akan menjadi masalah di ASEAN.

Australia Keluarkan Kebijakan Soal Asia

Perdana Menteri Australia Julia Gillard menjabarkan garis kebijakan luar negeri untuk mengembangkan hubungan dengan negara-negara Asia. Setidaknya ada 25 sasaran nasional yang dimasukkan dalam buku putih pemerintah Australia yang baru diluncurkan itu.
Sasaran itu mulai dari mengembangkan jaringan perdagangan hingga kurikulum pendidikan bahasa Mandarin yang lebih intensif. Menurut Gillard Australia dapat mencapai seluruh sasaran yang dijabarkan dalam buku tersebut pada tahun 2025. Perdana Menteri Gillard mengatakan dia ingin memfokuskan posisi Australia dari 'negara sekutu lamanya' di Eropa menuju Australia yang lebih dekat dengan tetangganya di Asia khususnya Cina dan India. Dokumen setebal 312 halaman ini diberi nama Australia di Abad Asia. Saat merilis dokumen di Intitut Lowy di Sidney, Gillard mengatakan Asia akan menjadi tempat bagi sebagian besar kalangan menengah dalam 20 tahun mendatang, dan karena itu saat ini merupakan momen yang tepat untuk memperluas pengaruh. "Kecepatan Asia untuk bangkit sangat mencengangkan dan ada peluang serta tantangan bagi seluruh warga Australia untuk terlibat di dalamnya," kata Gillard. "Tidak cukup hanya mengandalkan keberuntungan, masa depan kita ditentukan oleh pilihan bagaimana kita terlibat dengan kawasan tempat kita bernaung."

Pidato Gillard juga membahas kondisi terkini hubungan Australia dengan negara-negara kawasan Asia. Gillard menggambarkan dalam tiga dekade terakhir China menjadi negara mitra dagang terbesar mereka dan melampaui Jepang, AS serta Korea Selatan. Meski sejumlah perdana menteri sebelumnya seperti Bob Hawke dan Paul Keating telah membangun hubungan dengan Asia namun kebijakan baru yang digariskan Gillard dinilai akan mempunyai dampak lebih dalam serta lebih tertata. Ada sejumlah hal yang digariskan oleh Gillard secara spesifik seperti menjadikan kajian tentang Asia sebagai bagian dari kurikulum sekolah di Australia, memberikan kesempatan pelajar Australia untuk mempelajari sejumlah bahasa negara Asia seperti Mandarin, Hindi, Indonesia, dan Jepang.
Juga meningkatkan pendapatan nasional Australia dan membuka mata pebisnis papan atas terhadap apa yang terjadi di Asia. Dalam dokumen itu juga disebutkan posisi Australia terhadap kondisi keamanan di kawasan Asia. Menurut buku Gillard tersebut mengeluarkan kebijakan untuk menghadang perkembangan militer China tidak akan tepat guna. Australia akan mengimbangi kekuatan China melalui kerja sama militer dengan AS.

Simpulan
Dapat diambil kesimpulan dari pembahasan diatas bahwa Kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut di antaranya faktor Historical Culture atau budaya historis dan demografis, dan Faktor Geografis. Sejak dipimpin PM Ruud, ia pemimpin yang konsoliatoris direfleksikan dalam kebijakan luar negeri pada tiga pilar utama dan dua diantaranya adalah kemitraan dengan Amerika Serikat dan orientasi ke Asia. Ide pembentukan Asia Pacific Community adalah fakta politik yang semakin mempertegas arah baru Politik Luar Negeri Australia. Rasionalitas kepentingan nasional Australia terhadap pembentukan Asia Pacific Community dikonklusikan sebagai berikut. Pertama, ide Asia Pacific Community dimunculkan sebagai respon munculnya kekuatan baru di dunia yang berada di Asia yakni Cina dan India yang bisa menjadi ancaman sekaligus keuntungan bagi Australia. Posisi yang bagai dua mata uang tersebut direspon Australia dengan arah kebijakan agar kekuatan baru tersebut tidak menjadi ancaman. Australia berupaya merangkul negara-negara di Asia untuk berkerjasama demi melindungi keamanan nasionalnya. Kedua, potensi ekonomi yang sangat besar yang berada di Asia Pasifik dengan total perdagangannya merupakan 50% total perdagangan dunia. Dan terakhir adalah terkait ambisi Australia yang ingin menjadi new hegemon di Asia Pasifik.

Daftar Pustaka

Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia, Bandung. LIP Fisip UI dan PT, Remaja Rosdakarya.
Julius Siboro. 1989. Sejarah Australia. Bandung : Tarsito.
Kevin Rudd. 2008. Pernyataan Keamanan Nasional Pertama kepada Parlemen Australia. Surat Counselor Defence Kedubes Australia di Jakarta diakses melalui http://www.kompas.com/read/xml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar