A. Latar
Belakang
Negara Pesemakmuran
Australia (Commonwealth of Australia) atau yang sering kita sebut dengan
nama Australia adalah sebuah negara yang terdapat dibelahan bumi bagian selatan
yang juga menjadi nama dari benua terkecil didunia. Wilayahnya mencakup seluruh
benua Australia dan beberapa pulau disekitarnya. Disebelah barat Australia
berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea, sedangkan disebelah timur
berbatasan dengan Solomon, Fiji dan Selandia Baru. Meskipun Australia terletak
didekat Asia, namun negara ini sering disebut sebagai bagian dari Dunia Barat
karena kehidupan dari Australia yang mirip dengan Eropa Barat dan Amerika
Serika Pada
dasaanya politik luar negeri, atau
kadang disebut pula sebagai kebijakan luar negeri, sangat ditentukan oleh
tujuan yang ingin dicapai oleh negara tersebut sesuai dengan kepentingan
nasionalnya. Tujuan-tujuan yang dimaksud ialah tujuan politik, keamanan dan
ekonomi. Kepentingan nasional itu ditentukan oleh para penentu kebijakan luar
negeri sebagai hasil dari proses politik. Kebijakan luar negeri suatu negara,
termasuk Australia, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal
negara tersebut. Secara umum, faktor-faktor internal tersebut antara lain ialah
faktor historis, geografis, demografis, sistem politik, struktur politik, cara
pandang aktor-aktor (pemberi pengaruh, pembuat, dan penentu kebijakan) terhadap
sistem internasional, serta kepentingan dan peran yang diinginkan oleh negara
tersebut di dalam sistem internasional. Faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara antara lain ialah lingkungan
regional dan internasional, termasuk dalam hal ini perkembangan konstelasi
politik, ekonomi dan keamanan internasional, serta kebijakan negara atau
sekelompok negara lain terhadap negara tersebut.
B. Pembahasan
Awal Kebijakan Luar Negeri Australia
Berkaitan
dengan Kebijakan luar negeri, setiap negara tentu memiliki Kebijakan luar
negeri yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai oleh
masing-masing negara yang pastinya mengarah kepada kepentingan nasional.
Tujuan-tujuan yang dimaksud berkaitan dengan bidang politik, keamanan, ekonomi.
Pada tahun 2000 dapat dikatakan sebagai awal dari perubahan, fokus perhatian
persoalan yang menyangkut tentang pertahanan dan keamanan yang lebih kearah
pertahanan non-tradisional. Evolusi fokus kebijakan pertahanan kearah
non-tradisional, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal
pembentukan negara Australia.
Kebijakan luar
negeri Australia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal maupun
eksternal. Faktor-faktor tersebut di antaranya :
Pertama,
Historical Culture atau budaya historis dan demografis. Dalam hal ini,
terdapat dua negara yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan luar
negeri Australia yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Sampai awal abad ke-21 ini
meski terdapat upaya untuk menjadikan kebijakan luar negeri Australia lebih
mandiri dari pengaruh Amerika Serikat, khususnya jika Partai Buruh berkuasa
adalah suatu kenyataan bahwa dalam banyak kasus yang berkaitan dengan politik,
ekonomi dan keamanan, kebijakan luar negeri Australia sangat dipengaruhi oleh
Amerika Serikat. Beberapa contohnya adalah kebijakan Australia terhadap
Indonesia berkaitan dengan masalah Irian Barat pada 1950-an sampai dengan
pertengahan 1960-an serta kebijakan Australia atas Timor-Timur 1975-1999.
Kedua,
Faktor Geografis. Sebagai negara benua yang terletak diselatan khatulistiwa
yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat keturunan Inggris (Anglo Celtic),
masyarakat Australia merasa terisolir oleh lingkungan luarnya. Jika kita
menganalisis dari segi historis, kultur, bahasa, tradisi dan sistem politik
demokrasi masyarakat Australia lebih dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat,
namun secara geografis Australia berdekatan dengan Asia. Pada pertengahan
1980-an, kedekatan geografis dengan Asia dipandang bukan sebagai hikmah
melainkan sebagai bencana. Ketakutan Australia pada Asia ini sudah muncul pada
tahun 1850-an ketika Australia menemukan tambang-tambang emas dan perak
dinegerinya yang akan mengundang pendatang dari Asia khususnya Cina.
Ketiga,
Perubahan konstelasi politik, ekonomi, dan keamanan regional dan internasional
tidaklah bersifat statis melainkan sangat dinamis. Dinamika yang terjadi baik
dilingkungan regional dan internasional sangat mempengaruhi implementasi politik
luar negeri Australia salah satu contoh Perubahan kebijakan Pertahanan Amerika
Serikat terhadap kawasan Asia Tenggara pada masa Presiden Richard Nixon (Doktrin
Nixon 1969) juga mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan Australia dari
ketergantungannya yang begitu besar pada aliansinya dengan Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya menjadi suatu upaya untuk memperkuat defence
self-reliance. Ini bukan berarti Australia tidak ingin lagi beraliansi
dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat atau tak mau lagi membangun
jaringan pertahanan dengan negara-negara tetangganya, melainkan adanya upaya
agar semakin mandiri dibidang pertahanan.
Keempat, tujuan
yang ingin diraih dari kebijakan luar negeri adalah kepentingan nasional.
Tujuan politik dari kebijakan luar negeri Australia terdiri dari empat hal
yaitu :
1.
Australia yang lebih aman, baik dari segi fisik,
ekonomi, budaya dan politik, termasuk ideologi dan nasional etosnya,
2.
Suatu dunia yang lebih aman,
3.
Suatu dunia yang lebih kaya,
4. Suatu
dunia yang lebih baik.
Kebijakan
luar negeri Australia security objectives yaitu bagaimana menjaga
keamanan Australia baik secara individual (Self - Reliance) dalam
kerangka aliansi militer dibawah payung Amerika Serikat seperti SEATO (South
East Asia Treaty Organization) dan ANZUS ( Australia, New Zealand, and
The United States) serta dibawah payung Inggris FPDA (Five Powers
Defence Arrangement) atau dalam kerangka kerjasama Regional yang membangun
jaringan kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN dan Pasifik Selatan
(katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../1673/1674.pd diakses pada
hari Jum’at 16-04-2010). John Howard pada masa pemerintahannya mengumumkan
suatu kebijakan baru tentang informasi wilayah maritim Australia yang dikenal
dengan nama Australia’s Maritime Identification Zone (AMIZ) pada tahun
2004 (melalui pernyataannya “Strengthening Australia’s Offshore Maritime
Security”).
Awal
pembentukan negara Federasi Australia mengalam perjalanan panjang. Perubahan
bentuk pemerintahan dari koloni Inggris menjadi bentuk Federasi tidak
mengurangi pengaruh western dalam pemerintahan Australia. Meskipun
komposisi warganegaranya sudah menurun keinggrisannya dengan komposisi 25% non
Inggris, tetapi pengaruh Inggris masih sangat kuat menguasai kelembagaan
pemerintahan di Australia. Bereson & Rosenblat mengidentifikasi pengaruh
negara-negara western yang ada dalam kelembangaan pemerintahan di
Australia setelah terbentuknya Federasi Australia sebagai berikut.
·
Tradisi demokrasi parlemen menggambarkan pengaruh
Inggris
·
Adanya referendum menggambarkan pengaruh Swiss
·
Pembagian kekuasaan pemerintah federal dengan state
menggambarkan pengaruh
Canada
Penggunaan nama Senate dan House of
Representatives memperlihatkan pengaruh Amerika Serikat. Suatu benua yang
dihuni oleh mayoritas masyarakat berkulit putih khususnya Inggris, dengan
orientasi pemerintahan yang berkiblat ke Inggris, tetapi terletak di Pasifik
Selatan, menyebabkan terlihatnya gambaran kelompok kulit putih yang terisolasi
di antara kelompok masyarakat kulit berwarna. Kondisi ini menimbulkan dampak,
harus bagaimanakah Australia menempatkan dirinya di antara negara-negara Asia
dan Pasifik? Harus bagaimana Australia menata arah politik luar negerinya agar
dapat hidup berdampingan dan bertetangga baik ? Ini bukan persoalan mudah bagi
Australia, sebab latar belakang budaya yang dimunculkan dalam bentuk
pemerintahan berwarna western seringkali akan bertabrakan dengan warna
pemerintahan kulit berwarna terutama negara-negara di Asia yang baru
bermunculan sebagai akibat perkembangan nasionalisme pasca Perang Dunia II.
Latar belakang Australia sebagai misplaced
continent atau frightened country dilihat dari gaya hidupnya dan
kelembagaan politik yang berkiblat ke Eropa khususnya Inggris, tetapi secara
geografis terletak di Pasifik Selatan yang mayoritas penduduknya berkulit
berwarna, adalah penggambaran terhadap benua yang di selatan ini pada awal dan
perkembangannya sampai pada masa Perang Dunia II. Pencarian jati diri untuk
memposisikan politik luar negerinya mulai tampak setelah masa Perang Dunia II
di mana pada saat itu Australia menyadari bahwa menggantungkan eksistensinya
pada negeri induknya Inggris tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi di
Pasifik Selatan.
Perang Dunia II memberikan kesadaran pada Australia
bahwa Amerika Serikat lebih dapat diandalkan untuk menjadi mitranya dalam
menghadapi situasi dan kondisi di wilayah Pasifik. Analisis berikut memberikan
gambaran tidak dapat
diselesaikan hanya dengan mengandalkan mesin pertempuran yang canggih. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesalahtempatan Australia mengharuskan negara tersebut menyadari lingkungan sekitarnya
yang berbeda baik secara fisik maupun budaya.
Australia harus menata kehidupan politik
luar negerinya dengan mempertimbangkan good neighbourhood dengan
negara-negara di sekitarnya. Sebagai contoh, untuk membendung penyebaran
komunis di Asia Tenggara, setelah mundurnya Perancis dari Vietnam. Maka pada
tahun 1954 dibentuk SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang anggotanya
adalah Australia, New Zealand, Perancis, Inggris, Pakistan, Philipina,
Thailand, dan Amerika Serikat. Meskipun organisasi pertahanan bersama ini tidak
berumur panjang (tahun 1977 dibubarkan sejalan dengan mundurnya Amerika Serikat
dari Vietnam), tetapi terlihat adanya niat baik Australia untuk beradaptasi
dengan negara-negara di sekitarnya. Australia menjadi salah satu negara
penggagas South Pacific Commission yang merupakan langkah awal terbentuknya
South Pacific Forum (SPF), yakni forum tempat para pemimpin negara-negara di
Pasifik bertemu dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi di
kawasan Pasifik. Hasil dari forum tersebut dapat dilihat dari hasil forum
Brisbane tahun 1994 yang mencerminkan kesadaran akan pentingnya pelestarian
laut, hutan, dan sumber daya alam lain. forum Madang menghasilkan kesepakatan
reformasi ekonomi yang bertujuan untuk menstimulai perdagangan dan investasi,
mengembangkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, serta menciptakan
kondisi yang dapat mengembangkan sektor privat.
Dalam hal kerjasama militer, forum
ini menghasilkan perjanjian South Pacific Free Zone Treaty – The Treaty of
Ritonga tahun 2003. Dengan
ditandatangani perjanjian ini maka kawasan Pasifik akan terbebas dari tes-tes
senjata nuklir.
Asean Regional Forum (ARF) yang dibentuk tahun 1994
juga merupakan jawaban terhadap kepentingan Australia menata kehidupan politik
yang mengarah kepada bertetangga baik tersebut. Asean Regional Forum memiliki
25 negara anggota yang menaruh perhatian bagi keamanan Asia Pasifik. Dari 25
anggota ARF, terdapat 10 anggota ASEAN (Brunei, Myanmar, Kamboja, Indonesia,
Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam); 10 negara mitra Negara
ASEAN (Australia, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea
Selatan, Rusia, dan Amerika Serikat), dan 5 negara pengamat ASEAN (Papua
Nugini, Korea Utara, Mongolia, Pakistan dan Timor Leste). ARF menjadi suatu
wadah tempat Negara anggota dapat berdiskusi mengenai isu keamanan regional
yang terjadi dan mengembangkan aturan kejasama untuk meningkatkan perdamaian
dan keamanan di kawasan tersebut.
Australia Gagas Uni Asia-Pasifik
Perdana Menteri Australia Kevin
Michael Rudd, J menegaskan usulan pembentukan suatu kelompok masyarakat
Asia-Pasifik tidaklah meniru model Uni Eropa. "Kelompok ini tidak akan
memiliki satu mata uang yang sama sebagaimana Uni Eropa," katanya. Pemimpin Federal Partai Buruh Australia itu
lebih lanjut mengatakan pembentukan Uni Asia-Pasifik itu bertujuan untuk
mewadahi kerjasama di bidang ekonomi dan politik negara-negara di kawasan itu.
Mantan diplomat yang fasih berhasa Mandarin itu berharap Uni Asia-Pasifik bakal
terbentuk pada 2020. Tak pelak tekad Rudd membentuk kelompok yang beranggotakan
Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, Australia, dan negara-negara
di Asia Pasifik itu menjadi topik utama media massa di Negeri Kanguru itu.
Kritikan pun mengalir. Di antaranya dari dua mantan perdana menteri Australia,
Paul Keating dan Bob Hawke.
Kedua pentolah Partai Buruh itu mengatakan gagasan itu tidak realistik dan tidak layak diterapkan di Asia. "Asia belum membutuhkannya," kata Bob Hawke, salah seorang pelopor berdirinya forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) itu. Adapun Keating menganggap kelompok itu justru akan mengancam kedaulatan Cina. Tapi Rudd hakulyakin Uni Asia-Pasifik bisa terwujud pada 2010. Dia lalu merujuk ke masa ketika Bob Hawke memulai proses pembentukan APEC. "Dulu semua orang juga berpendapat itu mustahil," ujarnya. Rudd pun lantas menunjuk Richard Woolcott guna mempromosikan gagasan itu.
Kedua pentolah Partai Buruh itu mengatakan gagasan itu tidak realistik dan tidak layak diterapkan di Asia. "Asia belum membutuhkannya," kata Bob Hawke, salah seorang pelopor berdirinya forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) itu. Adapun Keating menganggap kelompok itu justru akan mengancam kedaulatan Cina. Tapi Rudd hakulyakin Uni Asia-Pasifik bisa terwujud pada 2010. Dia lalu merujuk ke masa ketika Bob Hawke memulai proses pembentukan APEC. "Dulu semua orang juga berpendapat itu mustahil," ujarnya. Rudd pun lantas menunjuk Richard Woolcott guna mempromosikan gagasan itu.
Woolcot adalah diplomat senior. Dia
pernah bertugas sebagai Duta Besar Australia di Perserikatan Bangsa Bangsa.
Cuma kelompok oposisi menuduh Rudd tergesa-gesa dalam membuat kebijakan. Usulan
itu juga mendapat perhatian dari Jepang dan Indonesia, dua negara yang akan
dikunjungi Rudd pekan depan. Jepang, sebagaimana diungkap AFP, mengaku
cemas akan adanya kemungkinan perubahan aliansi. Tokyo was-was kebijakan poitik
luar negeri Australia bakal bergeser dari Amerika Serikat dan Jepang. Maklumlah
kedua negara itu merupakan mitra utama Australia di percaturan politik dunia
dan kawasan.
Australia
dan Asia Pacific Community
Naiknya Kevin
Rudd sebagai pemimpin baru Australia dari Partai Buruh menggantikan John Howard
dari Partai Konservatif diperkirakan akan membawa pendekatan strategis baru
Australia di tingkat global maupun regional. Dari sisi pilihan antara
pendekatan geografis dan sosiocultural, biasaya pemerintah buruh Australia
lebih memilih geografis, yaitu kedekatannya dengan Asia ketimbang dengan Induk
Semangnya, Inggris, atau Sepupunya, AS. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan
bahwa masa depan Australia lebih terletak di Asia ketimbang kedekatan budaya
dan bahasanya dengan Inggris dan AS.
Saat masih menjadi Shadow
Foreign Minister, Kevin Rudd memformulasikan 3 pilar politik luar negeri
Australia yang mencakup The US Alliance, Engagement with the UN, dan Engagement
with Asia. Setelah terpilih, Rudd tampaknya tetap memegang formulasi PLN
Australia dalam 3 pilar tersebut. Kevin Rudd berasal dari Faksi Kanan
di dalam Australian Labour Party dan bukan dari faksi Kiri, oleh karena itu
pandangan Politik Luar Negerinya tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan
pemerintahan konservatif sebelumnya, yaitu tetap akan mempertahankan aliansi
militernya dengan AS ( The US Alliance).1
Australia terbiasa berurusan dengan sekutu-sekutunya yang besar dan powerful,
dan siap mengakomodasi mereka sejauh biayanya tidak terlalu besar,
tindakannya tidak terlalu dekat dengan Australia dan keuntungannya pragmatic (so
long as the cost is not too high, the action not too close to home and the
benefits tangible – a pragmatic, if unattractive national trait). Sementara
itu, keterlibatan Australia terhadap PBB juga ditunjukkan oleh Kevin Rudd
dengan menandatangani protocol Kyoto dan penarikan mundur pasukan Australia di
daerah konflik, seperti di Irak dan Afghanistan
Rasionalitas kebijakan luar
negeri Australia diarahkan oleh komitmen Australia terhadap multilateralisme
dan regionalisme dalam hubungan bilateral yang erat dengan sekutu-sekutu
utamanya. Setiap pemimpin Australia sadar betul akan kepentingan nasional
Australia di konteks regional maupun global dan karenanya kebijakan luar negeri
Australia diarahkan untuk mencapai prioritas-prioritas utama yang ditetapkan
untuk mewujudkan kepentingan nasional. Perhatian Australia saat ini terfokus
pada freetrade, terorisme, kerjasama ekonomi
dengan Asia dan stabilitas di Asia Pasifik. Hubungan Australia dan komunitas
internasional dipengaruhi oleh posisinya sebagai `a leading trading nation’
dan sebagai donor bantuan humanitarian yang cukup penting. Tidak
mengherankan jika pemerintah Australia sekarang ini akan tetap mempertahankan
kehadiran tentara dan polisinya di Solomon Island yang telah
menjadi The Failed State, Papua Nugini (PNG) dan tentu saja di
Timor Leste. Indonesia juga tetap akan menjadi negara penerima bantuan
luar negeri yang cukup penting bagi Australia, namun fokus Australia masih akan
tetap ke kawasan Timur Indonesia. Sumber daya Alam (minyak dan gas) adalah
kepentingan utama Australia, untuk menemukan sumber energi baru. Menurut sumber
penulis di Kedubes Australia, orientasi politik Australia dengan mengirim
pasukan sebanyak-banyaknya ke Timor Leste sejak menjadi bagian dari pasukan PBB
yang tergabung dalam INTERFET, tahun 1999 sampai pada pasca kerusuhan tahun
2006 jelas hanya berupaya untuk menguasai minyak dan gas bumi di laut Timor
untuk kepentingan perusahaan besar Australia, seperti Conoco Philips dan
Woodside Australian Energy.3
Austalia Selama ini telah menekan Timor Leste untuk tidak menggunakan penentuan
batas maritim sesuai dengan UNCLOS 1982. Penekanan ini tertuang di dalam
dokumen International Unitisation Agreement (IUA), dimana Timor Leste dipaksa
untuk menyetujui diberikannya 79,9 % dari produksi minyak di ladang Greater
Sunrise kepada Australia, sementara Timor Leste hanya mendapatkan 20,1 %.
Padahal kalau garis batas equidistance ditarik, maka semua hasil yang merupakan
milik Timor Leste jauh lebih besar. Dalam kasus di Solomon Island, lebih parah
lagi, Australia malah membentuk pemerintahan Boneka, walaupun tidak disetujui
oleh PBB, namun Australia tetap tidak mau untuk meninggalkan negara di
kepulauan Pasifik Selatan itu.
Saya setuju
dengan pandangan bahwa Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh (Kevin
Rudd) tidak akan lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dilihat dari berbagai
kebijakan yang ada, Politik Luar Negeri Australia merupakan kesinambungan yang
jarang sekali berubah secara drastis. Nuansa Politik Luar Negeri Australia bisa
saja berubah, namun substansinya akan tetap sama. Dalam konteks hubungan
Indonesia-Australia, Kevin Rudd akan tetap otonom dan proaktif menjalankan
kebijakan strategisnya di kawasan ini. Keterlibatan aktif Australia di Timor
Leste, investigasi kasus Bom Bali, penembakan tersangka teroris Amrozy Cs, dan
penanganan kasus Imigran dari Papua adalah contohnya. Dalam Kasus di Papua
Barat, Kevin Rudd kelihatannya akan mengikuti posisi pendahulunya untuk
terlibat di dalam masalah yang sangat sensitif bagi Indonesia tersebut, yang
menyangkut status dari Papua Barat
Salah satu
faktor objektif penting yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia
adalah karakteristik uniknya yang disebut Samuel P Huntington sebagai `a
torn country’: secara kultural Australia merupakan bagian dari budaya
Eropa, secara geografis menjadi bagian dari ‘komunitas Asia’. Karakteristik ini
membuat Australia merasa (dan dipandang oleh negara-negara tetangganya) sebagai
negara asing di kawasan Asia. Sebagai suatu geo-culturally torn
country, Australia harus melakukan sejumlah penyesuaian-penyesuaian
strategis supaya tetap survive di lingkungan yang unik ini. Engagement
dengan negara-negara tetangga terdekat di kawasan terdekat (Asia) adalah
keharusan. Menjadi bagian dari an Asia Pacific nation telah menjadi
prioritas orientasi PLN Australia. Namun engagement with Asia ini pun
sebetulnya tidak mudah karena perbedaan komonalitas dalam hal nilai-nilai dan
tradisi kultural yang menciptakan persepsi di Asia bahwa Australia tetap
merupakan stranger. Bagi Australia tampaknya lebih mudah menjalin
inter-relasi dengan negara-negara Eropa dan AS daripada dengan negara-negara
Asia. Karakteristiknya sebagai geo-culturally torn country membuat
Australia tidak merasa aman dan nyaman di kawasan ini. Ketidakamanan
dan ketidaknyamanan ini yang mendorong Australia untuk mempertahankan pergaulan
dekatnya dengan negara-negara Eropa dan beraliansi dengan AS. Di sisi
lain, kedekatannya dengan negara-negara Eropa dan terutama AS telah
menghadirkan image bahwa Australia adalah deputy sheriff AS di
Asia, image yang bahkan lebih menonjol daripada ‘peran yang sama’ yang
mungkin dimainkan oleh Jepang sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Kevin Rudd tampaknya sadar
dengan citra Australia ini, apalagi karena pendahulunya, Howard, memang secara
intensional telah membawa Australia sebagai `loyal client’ dari AS, global
patron Australia, seperti ditunjukkan oleh dukungan tanpa
reservasi terhadap kebijakan AS dalam Global War on Terrorism.
Citra ini menjadi batu sandungan bagi implementasi pilar PLN lainnya : engagement
with asia untuk tujuan membangun keamanan dan kesejahteraan regional.
Sehingga apa yang akan dilakukan oleh Rudd, adalah tetap mempertahankan aliansi
dengan AS, tetapi mungkin dengan wajah yang lebih bersahabat dengan
negara-negara terdekatnya.
Struktur power di Asia Pasifik
pada era pasca perang dingin dipengaruhi oleh struktur power global. Samuel P
Huntington mengklaim kongigurasi struktur power global sebagai the lonely
superpower vis-a-vis multiple powers : Amerika Serikat sebagai unit
dalam struktur power satu-satunya sepeninggal Uni Soviet pada awal tahun 1990an
berhadapan dengan new emerging multiple powers seperti Uni Eropa,
Rusia, China dan Jepang. Dalam struktur hubungan major powers di Asia,
barangkali posisi China yang paling dipandang dengan kecurigaan dan sikap
hostile bagi AS sebagai the superpower, dan bagi multiple powers
yang ada. Munculnya China sebagai kekuatan global baru menjadi perhatian serius
AS dan sekutu-sekutunya di Asia Pasifik dan Eropa. Beberapa Analisa melihat
pemimpin-pemimpin China berusaha sedemikian rupa menggunakan pengaruh ekonomi
dan politik mereka untuk memarginalisasi dan menghalangi peran AS di Asia atau
dalam jangka menengah dan panjang untuk menggantikan posisi AS di kawasan ini.
Marginalisasi peran AS ini memiliki tujuan jangka lebih jauh supaya China dapat
memainkan peran lebih lanjut di level global. Pandangan seperti ini tampaknya
sangat berpengaruh pada para pembuat keputusan di AS.
Salah satu
isu yang menjadi kontroversial bagi Pentagon adalah pengembangan kekuatan kapal
selam China yang dicurigai ditujukan untuk memblok akses militer AS ke Taiwan.
Sikap curiga terhadap munculnya China ini telah mendorong AS untuk mengundang
partner-partner aliansinya, terutama Jepang dan Australia, untuk melakukan
strategi Containment (Pembendungan). Stabilitas ekonomi dan keamanan
di kawasan Asia Pasifik akan ditentukan oleh kemampuan negara-negara major
powers untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan vital mereka.
Kenyataannya, ini merupakan agenda yang paling sulit direalisasikan. Kehadiran
AS di kawasan baik secara langsung maupun melalui aliansi-aliansi setianya,
Jepang dan Australia, dipandang sebagai strategi untuk ‘mengkerdilkan’ peran
China. Sementara, peran China yang semakin meningkat di kawasan ini juga
dicurigai sebagai upaya meminggirkan peran AS di kawasan ini. Dalam jangka
waktu yang sangat dekat, China akan mengintensiflcan perannya di kawasan ini dengan
pendekatan geo ekonomis melalui kerjasama bilateral dengan negara-negara
kawasan maupun melalui lembaga-lembaga regional (termasuk ASEAN) dan
transregional (seperti ASEM); pada saat yang sama, China akan terus melakukan
akselerasi untuk memenuhi prioritas prioritas PLN yang selama ini belum
berhasil. Pendekatan-pendekatan ini akan disinergikan untuk mencapai
kepentingan vital China.
Langkah China
akan memperlebar gap kepentingan antara major powers dan multiple
power. Kegagalan dalarn mempertemukan kepentingan-kepentingan vital di
antara major powers dan multiple powers, dan peningkatan
persaingan di antara major powers tampaknya akan mendominasi struktur
politik regional di Asia Pasifik. Lingkungan regional akan menjadi tidak
menentu. Kekuatan baru muncul sebagai dominant power,
kekuatan-kekuatan lain (Jepang, Rusia, India) memperkuat aliansi dengan AS
untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Ketidakpastian menyikapi
intensi dan ambisi China akan tetap menjadi isu sentral bagi para pembuat
keputusan di AS dan partner-partner aliansinya di Asia Pasifik. Australia
melihat AS sebagai “great friend and ally“, sementara pada saat yang sama
Australia sebenarnya melihat China sebagai “Great friend and partner” “to
shift Australia’s approach from fear of China to one of friendly relations ; to
deal with China on its own merits and not just as part of the East-West
confrontation ; to see China as an apportunity rather than as a threat ; to
recognize China as a potential great power; and to encourage China to
participate as an equal and co-operative member of the international society”
Kevin Rudd memiliki alasan
mengapa hubungan yang bersifat amity dengan China perlu dikembangkan. Australia
dan China merupakan partner dagang yang cukup besar dengan posisi China sebagai
pemain utama dalam perekonomian Australia. China merupakan partner impor
terbesar dan partner ekspor kedua terbesar bagi Australia. Bagi China,
Australia dipandang sebagai negara penting dalam hal pemasok mineral yang dalam
beberapa tahun belakangan menaikkan perekonomian Australia. Di Australia ini
dikenal dengan Minerals Boom atau the Chinese Mineral Boom. Bagi Australia,
kehadiran AS tetap sangat krusial bagi keseimbangan regional yang stabil di
antara negara-negara major powers. Ini berarti kebijakan US Strategic
engagement di Asia tetap merupakan isu sentral dari pendekatan Australia di
kawasan ini.
Asia Pacific Community : Engagement With Asia
Tujuh bulan
setelah terpilih sebagai PM Australia, Kevin Ruud memunculkan ide tentang Asia-Pacific
Community. Komunitas Asia Pasifik ini yang diharapkan dapat terbentuk pada
tahun 2020 mengemban visi untuk menjadi suatu institusi regional yang: (1)
mencakup seluruh kawasan Asia-Pasifik, yang secara spesifik memasukkan Amerika
Serikat, Jepang, China, India dan Indonesia dan juga negara-negara lainnya di
kawasan; (2) mampu terlibat di dalam spektrum kegiatan yang meliputi dialog,
kerja sama dan tindakan nyata dalam menangani masalah-masalah ekonomi dan
politik serta menghadapi tantangan-tantangan di masa depan yang terkait
dengan keamanan. Di dalam pidatonya kepada Asia Society Australia pada tanggal
5 Juni 2008, ia menguraikan tentang berbagai tantangan regional dan global yang
dihadapi oleh Australia dan juga negaranegara lain di kawasan, seperti
perubahan iklim, krisis energi dan pangan dan munculnya kekuatan baru yaitu
China dan India. Ruud melihat suatu kebutuhan akan adanya institusi-institusi
regional yang kuat dan efektif dalam rangka menghilangkan beberapa keretakan
di dalam hubungan antar negara yang terjadi saat ini sekaligus untuk menghadapi
tantangan-tantangan tersebut.
Ruud
menyadari bahwa kawasan Asia-Pasifik saat ini telah memiliki berbagai institusi
dan pengaturan yang secara relatif telah berkontribusi dalam upaya untuk
mencapai stabilitas dan kemakmuran regional. Namun, ia dengan tegas menyatakan
bahwa tidak satu pun mekanisme regional yang ada tersebut betul-betul berhasil
untuk melibatkan semua negara dalam dialog, kerja sama dan secara nyata
mengambil tindakan dalam rangka mengatasi berbagai masalah politik, ekonomi dan
keamanan. Salah satu contoh adalah ketidakmampuan ASEAN untuk mengatasi krisis
di Myanmar hingga saat ini dan juga menjadi mediator aktif untuk menyelesaikan
konflik antara Thailand dan Kamboja. APEC, ARF, KTT Asia Timur, ASEAN Plus
Three dan ASEAN tetap diharapkan untuk memainkan perannya masing-masing yang
akan menjadi batu-batu penyusun (building blocks) dari Komunitas
Asia-Pasifik ini. Keseriusan Ruud dengan proposal ini ditunjukkan
dengan penunjukan Duta Besar Dick Wolcott sebagai duta khusus tingkat tinggi
untuk membicarakan ide ini dengan negara-negara lain di
kawasan. la juga menyatakan bahwa hasil pembicaraan awal tersebut akan
mengarah pada suatu konferensi tingkat tinggi antar kepala negara dan juga
melibatkan inisiatif-inisiatif dari pihak-pihak non-pemerintah untuk
mematangkan proposal ini.
Munculnya
proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini membawa beberapa implikasi mendasar
untuk dikaji lebih dalam. Pertarna, ide ini selaras dengan pilar-pilar
politik luar negeri Australia yang telah ditetapkan di bawah administrasi
Partai Buruh. Komunitas AsiaPasifik diharapkan dapat menjadi salah satu
strategi penting untuk menciptakan keterlibatan secara komprehensif (comprehensive
engagement) dengan negara-negara tetangga di Asia. Di samping itu,
keterlibatan ini penting untuk meminimalkan kemungkinan munculnya persaingan
dan konflik yang mengakibatkan ketidakstabilan regional dan tentunya juga
keamanan nasional Australia.
Kedua, proposal
tentang Komunitas Asia-Pasifik ini juga mencerminkan pengakuan Australia
sebagai “active middle power” di dalam konstelasi struktur global saat
ini. Seperti dikatakan oleh Duta Besar Richard Woolcott, ide tersebut akan
terlihat tidak terlalu provokatif jika muncul dari negara seperti Australia
ketimbang dari Amerika Serikat atau China. Ide ini juga menunjukkan
suatu pesan yang sangat jelas bahwa Australia di bawah kepemimpinan
yang baru betul-betul berupaya untuk berperan penting dalam pembentukan
arsitektur regional untuk menciptakan stabilitas regional, terlebih lagi untuk
menjamin keamanan nasional Australia. Selain itu, dalam rangka untuk menjadi
kekuatan yang aktif dan signifikan di kawasan, tentunya penting untuk mengulang
kembali kesuksesan negara tersebut yang ditunjukkan dengan berdirinya APEC pada
tahun 1988 berdasarkan usul dari PM Bob Hawke.
Ketiga, terkait
dengan implikasi kedua, pandangan realis tertentu juga melihat bahwa ide ini
merupakan manifestasi dari adanya suatu kekhawatiran tentang potensi persaingan
yang intensif di antara kekuatan-kekuatan di kawasan, yaitu Amerika Serikat,
Jepang, China dan India. Walaupun merupakan suatu hal yang mustahil untuk
menghilangkan semua potensi konflik, institusi baru ini diharapkan dapat
mengakomodasi, bahkan mengarahkan arah pertumbuhan China atau India, sebagai
calon-calon kekuatan baru, yang masih dianggap belum jelas hingga saat ini.
Misalnya, di
dalam Buku Putih Pertahanan Australia yang tebalnya mencapai 140
halaman dan berjudul Membela Australia di Abad Asia Pasifik: Kekuatan
Militer 2030, secara jelas menyatakan bahwa pemerintah Australia dalam
kurun waktu 20 tahun ke depan akan mengupayakan secara maksimal untuk
meningkatkan kekuatan angkatan laut maupun udara Australia, termasuk di
antaranya melipatgandakan armada kapal selamnya dan membeli 100 unit pesawat
tempur, “agar Australia dapat membentengi diri secara mandiri dari agresi,
sekaligus juga membantu menjaga stabilitas keamanan di wilayah Asia Pasifik”.
Selain membeli 24 unit Jet tempur canggih F/A-18F ‘Super Hornet, Australia juga
akn membeli pesawat tempur Siluman F-22 Raptor dari AS. Australia sekarang
sedang mempertimbangkan partisipasinya dalam program sistem pertahanan rudal
AS. Bahkan Menteri Pertahanan Joel Fitzgibbon juga sudah memerintahkan
pembuatan rencana pengembangan generasi baru Kapal Selam AL Australia untuk
menggantikan Armada ‘Collins’ pada tahun 2025. Proyek pengembangan armada kapal
selam baru tersebut diperkirakan memakan biaya 25 milyar dollar dan perlu waktu
17 tahun tersebut, disebut surat kabar “the Australian “ sebagai proyek
pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu.
Buku Putih
tersebut juga menyebutkan, perkembangan militer Cina sepertinya telah jauh
melampaui kebutuhannya untuk menginvasi Taiwan. Kecepatan pengembangan kekuatan
militer Cina , dan moderenisasi kekuatan militernya yang nyaris tidak
terpengaruh oleh krisis ekonomi global ini, Bagi Australia, langkah
moderenisasi kekuatan militer RRT, luas cakupan serta strukturnya jika tidak
dijelaskan secara mendetail, maka akan menciptakan kekhawatiran laten bagi
negara – negara tetangganya.
Sementara
itu, sebagian besar negara di kawasan, khususnya negara-negara ASEAN cenderung
berhati-hati dalam menanggapi ide tersebut. Para pejabat di Thailand menyatakan
bahwa mereka ingin mempelajari proposal tersebut lebih lanjut sebelum
menunjukkan dukungan atau penolakan. Di sisi lain, anggota-anggota
parlemen di Indonesia mempertanyakan proposal tersebut karena melihat telah
banyaknya institusi dan mekanisme regional yang telah ada saat ini sehingga
dirasakan tidak perlu lagi untuk membentuk institusi yang baru. Pemerintah
Indonesia sendiri, khususnya Departemen Luar Negeri, belum memberikan
pernyataan resmi yang menyatakan menyambut atau menolak usulan tersebut.
Di sisi lain,
Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan justru menyatakan menyambut baik
inisiatif tersebut walaupun tetap mengatakan ingin mengetahui isinya lebih
jauh. Namun demikian, pernyataan Sekjen ASEAN mendapat tanggapan dari negara
anggota ASEAN. Dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-41 pada tanggal 17-24
Juli 2008, Kementerian Luar Negeri Singapura memberikan klarifikasi bahwa
pernyataan Sekjen ASEAN merupakan pernyataan pribadi yang tidak mewakili
seluruh negara anggota ASEAN. Pejabat tinggi Singapura juga mengingatkan bahwa
ASEAN tetap memegang peranan utama dalam pembentukan komunitas regional di Asia
Timur dan proposal ini nampak sebagai peralihan posisi Australia untuk
mendukung peranan ASEAN tersebut.
Di samping
berbagai tanggapan awal tersebut, proposal tentang Komunitas Asia-Pasifik ini
perlu dianalisis lebih lanjut. Apakah Komunitas Asia-Pasifik ini akan menjadi
suatu institusi payung bagi semua institusi-institusi regional yang telah ada
atau justru menjadi batu penyusun yang menambah sederetan institusi regional
tersebut? Untuk menjadi institusi payung, hal ini tentu bukan merupakan suatu
hal yang mudah. Contohnya model pembentukan Uni Eropa tidak dapat sepenuhnya
diadaptasi karena karakteristik negara-negara anggota serta tantangan-tantangan
di kawasan masing-masing yang berbeda. Kemudian, adanya kenyataan bahwa ide
tersebut muncul dari Australia justru menjadi tantangan tersendiri karena masih
berkembangnya pandangan bahwa Australia merupakan bagian dari Barat yang
“terperangkap secara geografis” di kawasan Asia. Hingga saat ini, kemungkinan
yang paling realistis adalah bahwa institusi ini akan menjadi institusi baru
yang sejajar dengan institusi-institusi lain di kawasan, seperti APEC dan KTT
Asia Timur. Karena itu, untuk membuat institusi ini menjadi efektif, sangat
penting untuk segera merumuskan fungsi-fungsi spesifik seperti apa yang akan
dijalankan berdasarkan dua elemen yang tercantum dalam visi Ruud atas Komunitas
Asia-Pasifik ini.
Implikasi
penting yang mungkin akan terjadi adalah adanya kemungkinan bahwa
Komunitas Asia-Pasifik ini digunakan sebagai jalan keluar (leeway) dari
kebuntuan di dalam ASEAN. Menurunnya efektivitas dan relevansi ASEAN terutama
setelah krisis ekonomi tahun 1997 telah memunculkan berbagai kritik terhadap
kinerja ASEAN. Tanpa menafikan kesuksesan secara relatif selama 40 tahun dalam
mencegah terjadinya konflik terbuka antar negara di kawasan, saat ini ASEAN
menghadapi berbagai tantangan serius khususnya dalam rangka transformasi ke
arah terbentuknya Komunitas ASEAN. Berlanjutnya krisis politik dan kemanusiaan
di Myanmar, terjadinya sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dan
masih diadopsinya non interference principle di dalam Piagam ASEAN dapat
mengarah pada menurunnya harapan tentang arah yang dituju oleh ASEAN.
Pencantuman salah satu negara anggotaASEAN sebagai calon anggota Komunitas Asia-Pasifik
ini dapat menimbulkan kontroversi di dalam tubuh ASEAN karena selalu terbuka
kemungkinan bagi negara tersebut untuk menggunakan institusi baru ini sebagai
jalan keluar.
Namun
sekarang bukan pertanyaan ASEAN penting atau tidak secara konseptual dan teori.
Pertanyaannya apakah ASEAN yang sekarang sudah cukup atau belum untuk
menghadapi situasi global sekarang ini ? Banyak kalangan menilai ASEAN tidak
lagi cukup untuk menjadi tumpuan utama. Sejak tahun 2000 hal ini sudah
dikemukakan. Setelah 41 tahun ada kontribusi ASEAN, misalnya penyelesaian
masalah Kamboja, Filipina Selatan dan Malaysia. Tapi semangat ASEAN tidak
workable untuk banyak masalah lain. Masalah Mynmar, berlanjutnya aksi
terrorisme Pasca ditembaknya Amrozy Cs, TKI di Malaysia, misalnya, tidak bisa
diselesaikan dengan semangat ASEAN saja. ASEAN sampai sekarang dinilai masih
milik elit dan birokrat, tidak mengakar kuat di tingkat grass root.
Kontribusinya memang ada , tetapi di anggap masih jauh dari harapan untuk
sebuah organisasi regional dalam memanage ketegangan-ketegangan yang ada. ASEAN
penting jika dilihat 570 juta penduduknya sebagai pasar dan sumber daya. Tapi
hal itu tidak cukup.
Selama
beberapa tahun terakhir hubungan internasional di Asia Tenggara mengalami
perubahan yang cukup dinamis. Perubahan yang bisa dilihat adalah : kembalinya
ASEAN sebagai ajang persaingan negara-negara besar, kesulitan ASEAN untuk
menyelesaikan isu-isu keamanan internal, meningkatnya ancaman keamanan non
tradisional, terutama terrorisme, keamanan energy, pangan dan maritime serta
masa depan ASEAN yang dihadapkan pada persoalan menguatnya regionalisme
pada forum yang lebih luas.
Ada
gejala power shift yang dramatis di Asia Timur dengan berlanjutnya supremasi
AS, kebangkitan China dan India, kehadiran Japan dan kembalinya Russia. Ada
Pandangan negara lain di kawasan Asia Timur terhadap kinerja ASEAN, termasuk
ARF yang semakin menurun atau terjadi kejenuhan karena ketidakmampuan ASEAN
dalam memberikan hasil. Apabila Negara-negar besar tidak lagi yakin dengan
kegunaan arsitektur regional kawasan berbasis ASEAN, maka besar kemungkinan
mereka akan mempertimbangkan sebuah arsitektur regional baru yang dapat
mengakomodasikan berbagai tantangan strategis yang lahir akibat terjadinya
pergeseran kekuatan. Pada saat yang sama, apabila arsitektur yang ada dianggap
tidak lagi mampu menjawab tantangan krisis global dan regional, maka kebutuhan
akan sebuah arsitektur regional baru yang mungkin diporakarsai negara besar
juga semakin menonjol.
Lewat
Kevin Rudd, sekarang ada gagasan menghasilkan new arrangement di Asia Pasifik.
Ada kompetisi negara-negara besar. ASEAN dipandang tidak mampu untuk memanage
kepentingan negara-negara besar. Ide Perdana Menteri Kevin Rudd itu sebenarnya
merefleksikan konteks tersebut di atas dan berisi concert of power. PM
Rudd juga melontarkan gagasan untuk membentuk Nuclear Non-proliferation and
Disarmament Commission sebagai persiapan menjelang proses peninjauan
kembali Nuclear Non-proliferation Treaty (NPT) pada 2010. Diharapkan,
komunitas itu menjadi arsitektur keamanan baru yang dapat mencegah terjadinya
konflik kepentingan terkait dengan ekonomi, politik, dan keamanan di kawasan
Asia Pasifik. Di mata PM Rudd, belum ada mekanisme regional yang mampu mencapai
tujuan-tujuan yang disebutnya itu. Meski Indonesia melalui Presiden SBY dan
DEPLU RI menyambut baik, namun menurut DR Ikrar Nusa Bhakti, belum tentu
Indonesia akan menerimanya karena persoalan siapa yang menjadi ‘pemimpin’,
‘penggerak’, atau ‘pengemudinya’ tetap akan menjadi masalah di ASEAN.
Australia
Keluarkan Kebijakan Soal Asia
Perdana Menteri
Australia Julia Gillard menjabarkan garis kebijakan luar negeri untuk
mengembangkan hubungan dengan negara-negara Asia. Setidaknya ada 25 sasaran
nasional yang dimasukkan dalam buku putih pemerintah Australia yang baru
diluncurkan itu.
Sasaran itu mulai dari mengembangkan jaringan perdagangan hingga kurikulum pendidikan bahasa Mandarin yang lebih intensif. Menurut Gillard Australia dapat mencapai seluruh sasaran yang dijabarkan dalam buku tersebut pada tahun 2025. Perdana Menteri Gillard mengatakan dia ingin memfokuskan posisi Australia dari 'negara sekutu lamanya' di Eropa menuju Australia yang lebih dekat dengan tetangganya di Asia khususnya Cina dan India. Dokumen setebal 312 halaman ini diberi nama Australia di Abad Asia. Saat merilis dokumen di Intitut Lowy di Sidney, Gillard mengatakan Asia akan menjadi tempat bagi sebagian besar kalangan menengah dalam 20 tahun mendatang, dan karena itu saat ini merupakan momen yang tepat untuk memperluas pengaruh. "Kecepatan Asia untuk bangkit sangat mencengangkan dan ada peluang serta tantangan bagi seluruh warga Australia untuk terlibat di dalamnya," kata Gillard. "Tidak cukup hanya mengandalkan keberuntungan, masa depan kita ditentukan oleh pilihan bagaimana kita terlibat dengan kawasan tempat kita bernaung."
Sasaran itu mulai dari mengembangkan jaringan perdagangan hingga kurikulum pendidikan bahasa Mandarin yang lebih intensif. Menurut Gillard Australia dapat mencapai seluruh sasaran yang dijabarkan dalam buku tersebut pada tahun 2025. Perdana Menteri Gillard mengatakan dia ingin memfokuskan posisi Australia dari 'negara sekutu lamanya' di Eropa menuju Australia yang lebih dekat dengan tetangganya di Asia khususnya Cina dan India. Dokumen setebal 312 halaman ini diberi nama Australia di Abad Asia. Saat merilis dokumen di Intitut Lowy di Sidney, Gillard mengatakan Asia akan menjadi tempat bagi sebagian besar kalangan menengah dalam 20 tahun mendatang, dan karena itu saat ini merupakan momen yang tepat untuk memperluas pengaruh. "Kecepatan Asia untuk bangkit sangat mencengangkan dan ada peluang serta tantangan bagi seluruh warga Australia untuk terlibat di dalamnya," kata Gillard. "Tidak cukup hanya mengandalkan keberuntungan, masa depan kita ditentukan oleh pilihan bagaimana kita terlibat dengan kawasan tempat kita bernaung."
Pidato Gillard juga
membahas kondisi terkini hubungan Australia dengan negara-negara kawasan Asia.
Gillard menggambarkan dalam tiga dekade terakhir China menjadi negara mitra
dagang terbesar mereka dan melampaui Jepang, AS serta Korea Selatan. Meski
sejumlah perdana menteri sebelumnya seperti Bob Hawke dan Paul Keating telah
membangun hubungan dengan Asia namun kebijakan baru yang digariskan Gillard
dinilai akan mempunyai dampak lebih dalam serta lebih tertata. Ada sejumlah hal
yang digariskan oleh Gillard secara spesifik seperti menjadikan kajian tentang
Asia sebagai bagian dari kurikulum sekolah di Australia, memberikan kesempatan
pelajar Australia untuk mempelajari sejumlah bahasa negara Asia seperti
Mandarin, Hindi, Indonesia, dan Jepang.
Juga meningkatkan pendapatan nasional Australia dan membuka mata pebisnis papan atas terhadap apa yang terjadi di Asia. Dalam dokumen itu juga disebutkan posisi Australia terhadap kondisi keamanan di kawasan Asia. Menurut buku Gillard tersebut mengeluarkan kebijakan untuk menghadang perkembangan militer China tidak akan tepat guna. Australia akan mengimbangi kekuatan China melalui kerja sama militer dengan AS.
Juga meningkatkan pendapatan nasional Australia dan membuka mata pebisnis papan atas terhadap apa yang terjadi di Asia. Dalam dokumen itu juga disebutkan posisi Australia terhadap kondisi keamanan di kawasan Asia. Menurut buku Gillard tersebut mengeluarkan kebijakan untuk menghadang perkembangan militer China tidak akan tepat guna. Australia akan mengimbangi kekuatan China melalui kerja sama militer dengan AS.
Simpulan
Dapat diambil kesimpulan dari pembahasan
diatas bahwa Kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut di antaranya
faktor Historical Culture atau
budaya historis dan demografis, dan Faktor Geografis. Sejak dipimpin PM
Ruud, ia pemimpin yang konsoliatoris direfleksikan dalam kebijakan luar negeri
pada tiga pilar utama dan dua diantaranya adalah kemitraan dengan Amerika
Serikat dan orientasi ke Asia. Ide pembentukan Asia Pacific Community adalah
fakta politik yang semakin mempertegas arah baru Politik Luar Negeri Australia.
Rasionalitas kepentingan nasional Australia terhadap pembentukan Asia Pacific
Community dikonklusikan sebagai berikut. Pertama,
ide Asia Pacific
Community dimunculkan sebagai respon munculnya kekuatan baru di dunia yang
berada di Asia yakni Cina dan India yang bisa menjadi ancaman sekaligus
keuntungan bagi Australia. Posisi yang bagai dua mata uang tersebut direspon
Australia dengan arah kebijakan agar kekuatan baru tersebut tidak menjadi
ancaman. Australia berupaya merangkul negara-negara di Asia untuk berkerjasama
demi melindungi keamanan nasionalnya. Kedua,
potensi ekonomi yang sangat besar yang berada di Asia Pasifik dengan
total perdagangannya merupakan 50% total perdagangan dunia. Dan terakhir adalah
terkait ambisi Australia yang ingin menjadi new hegemon di Asia Pasifik.
Daftar Pustaka
Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem
Politik Australia, Bandung. LIP Fisip UI dan PT, Remaja Rosdakarya.
Julius Siboro. 1989. Sejarah Australia. Bandung : Tarsito.
Kevin
Rudd. 2008. Pernyataan Keamanan Nasional Pertama kepada Parlemen Australia. Surat Counselor Defence
Kedubes Australia di Jakarta diakses melalui http://www.kompas.com/read/xml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar